Musik Dalam Pandangan Islam

 
     Musik sudah dikenal sejak ada manusia di muka bumi ini, dan terus berkembang sejalan dengan perkembangan manusia. Musik berkembang mengikuti perkembangan pengetahuan manusia tentang musik itu sendiri, mulai dari perkembangan pada peralatan, instrumen, dan aransemen yang semakin maju. Seiring berjalannya waktu ada empat jenis musik yang berkembang di Indonesia yakni musik pop, musik jazz, musik metal, dan musik dangdut. Dan kemudian berkembang juga musik pop yang bernuansa islam contohnya selawat dan lagu-lagu religi Islam.

    Musik sudah menjadi bagian dari hidup manusia. Hampir seluruh manusia selalu hidup berdampingan dengan musik, mulai dari anak-anak, remaja bahkan orang tua. Musik banyak diminati karena dapat memberikan hiburan kepada seluruh manusia dan juga dapat menjadi media informasi kepada pihak lain, agar informasi itu lebih diminati oleh banyak orang. Umat Islam juga menggunakan musik sebagai media informasi tentang ajaran-ajaran Islam yang dikemas dalam bentuk lagu yang dikenal dengan lagu nasyid atau kasidah, dan belakangan ini berkembang juga lagu-lagu pop yang bernuansa religius.

   Musik juga memiliki beragam manfaat dalam kehidupan sehari-hari. Musik dapat meningkatkan suasana hati, meningkatkan kecerdasan otak, media relaksasi, membantu pemulihan beberapa penyakit, mengatasi rasa lelah dan meningkatkan daya ingat. Namun demikian, sangat penting untuk mengetahui bagaimana hukum mendengarkan musik, bermain musik dan bernyanyi dalam pandangan Islam.

     Berdasarkan penjelasan dari al-Qardhawi yang merupakan seorang ulama Mesir berpendapat bahwa berhibur dengan nyanyian dengan tidak ada niat untuk menyesatkan orang dan tidak menyebabkan orang yang melakukan dan orang yang menikmati hiburan tersebut lalai dari kewajiban kepada Allah contohnya sembahyang maka berhibur dibenarkan. Pendapat Yusuf al-Qardawi menjelaskan bahwa maksud (اللغو) pada al Qur'an surah Al Qasas ayat 55 ialah kata-kata keji contohnya mencerca, memaki dan sebagainya. Akan tetapi walau bagaimanapun sekiranya nyanyian termasuk dalam maksud ayat tersebut, didapati bahwa meninggalkannya bukan hal yang wajib akan tetapi lebih disukai untuk ditinggalkan. Ini karena makna perkataan اللغو)) adalah sama dengan perkataan (الباطل) yang bermaksud sesuatu yang tidak memberi faedah karena mendengar sesuatu yang tidak memberi faedah bukanlah sesuatu yang diharamkan selagi dia tidak melalaikan ataupun meninggalkan kewajiban. Selanjutnya Al-Qardawi berpendapat bukan semua nyanyian merupakan satu kerja yang sia-sia. Hukumnya berdasarkan kepada niat penyanyinya. Ini karena niat yang baik, dapat mengubah hiburan, satu hal yang dianggap sia-sia, menjadi satu taqarrub ataupun mendekatkan diri kepada Allah. Niat yang baik juga dapat menjadikan senda gurau sebagai satu bentuk ketaatan, sementara itu pula niat yang buruk pula, akan menjatuhkan nilai amalan-amalan yang baik. Amalan-amalan ini walaupun pada kenyataannya merupakan satu ibadah, tetapi jika terdapat dalamnya sifat riya dia tidak mempunyai makna. 

     Dan pada hadis Bukhari, “Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari 'Aisyah r.a. bahwasannya dia mengawinkan seorang perempuan kepada seorang lelaki Ansar. Maka kata Rasulullah saw. "Wahai Aisyah apakah ada hiburan bersama kamu karena orang Ansar suka kepada hiburan”. Hadis di atas memberikan penjelasan bahwa Nabi saw mengharuskan adanya hiburan yang berbentuk musik ataupun nyanyian untuk meramaikan acara perkawinan karena pada masa itu adalah masa untuk bergembira. Namun, pada hadis Bukhari kitab al-Ashribah, Bab fi man yastahillu al-khamr wa yusammihi bigairi ismihi, dalam "Fathul Bari" juz 12 halaman 154-155 disebutkan tentang Hadis yang melarang nyanyian dan alat musik. Kata al-Bukhari, kata Hisyam dengan sanadnya dari Abi Malik al-Anshari bahwa dia mendengar Nabi bersabda: Sesungguhnya akan terdapat dari kalangan umatku beberapa golongan yang menghalalkan zina, sutra, arak dan musik. Dan beberapa golongan akan pergi ke tepi bukit yang tinggi kemudian dikunjungi oleh gembala-gembala kambing dengan ternakan karena satu tujuan, maka mereka berkata: datanglah kepada kami pada besok hari. Pada waktu malamnya Allah binasakan mereka dan menjatuhkan bukit itu ke atas mereka. Manakala yang sisanya yang tidak binasa pada malam tersebut ditukarkan rupa menjadi monyet dan babi sehingga hari kiamat.

     Kemudian dari pendapat ulama empat mazhab dalam Islam yakni yang pertama mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa mazhab Abu Hanifah melarang nyanyian dan mendengarkannya adalah berdosa. Begitu juga mazhab ahli Kufah yang berpendapat bahwa menyanyi dengan tujuan hiburan atau untuk mendapatkan uang adalah haram lebih-lebih lagi apabila penyanyi itu terdiri dari kaum wanita. Hibatullah bin Ahmad al-Hariry, dari Abu al-Tayyib al-Tabari dalam Ibnu al-Jauzi Ia berkata bahwa: Abu Hanifah membenci nyanyian dan membenarkan minuman nabiz (sejenis wine yang boleh memabukkan). Dia menyatakan bahwa mendengar lagu sebagai suatu yang berdosa. Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa makruh hukumnya mendengar nyanyian yang tidak disertai dengan alat yang telah menjadi (syi'ar nasyribah) seperti gambus, rebab, biola, serunai dan seni kataya pula tidak menyifatkan keindahan wanita, pemuda remaja dan arak atau lainnya yang dilarang. Adapun jika seni katanya bertentangan dengan syariat seperti menyifatkan keindahan wanita, maka itu adalah maksiat (haram), dan mendengar bunyian yang telah dijelaskan di atas adalah haram. Tidak makruh nyanyian perang, nyanyian untuk merajinkan bekerja, nyanyian untuk menidurkan anak, malah kadang dianjurkan seperti hida' di dalam haji dan di dalam peperangan. Inilah bentuk nyanyian yang dilakukan oleh para sahabat. Mazhab Maliki berpendapat bahwa Malik bin anas melarang nyanyian dan mendengarnya. Katanya: siapa yang membeli hamba perempuan dan ternyata dia penyanyi maka berhak baginya mengembalikan hamba perempuan itu dengan sebab kecacatan yang ada padanya. Dan mazhab Hambali berpendapat bahwa makruh mendengar nyanyian yang tidak menggunakan alat hiburan seperti gambus, tanbur atau yang sejenis. Adapun mendengar nyanyian dengan menggunakan alat tersebut atau seni katanya memuji arak atau memuji perempuan ajnabiyah maka itu adalah haram.

    Ulama tafsir dan ulama hadis juga berpendapat bahwa nyanyian yang dipersembahkan oleh penyanyi-penyanyi masyhur seni katanya mengandung perkataan-perkataan yang membangkitkan nafsu, menggambarkan kejelitaan wanita, arak dan hal-hal yang diharamkan maka ulama sepakat mengharamkannya. Adapun nyanyian yang tidak menggambarkan hal yang diharamkan seperti di atas hukumnya adalah boleh jika dilakukan secara sedikit di dalam acara-acara yang tertentu seperti di waktu pernikahan, hari raya dan ketika memberi semangat untuk kerja berat sebagaimana yang terjadi ketika penggalian ke kubu pertahanan khandaq. Berdasarkan pernyataan di atas tersebut, mendengar nyanyian pada pandangan Ibnu Hazm, tidak bertentangan sama sekali dengan dasar syari'at Islam yang menyeru manusia kepada ketenangan jiwa utnuk membantu mereka beramal. Mendengar nyanyian boleh meringankan beban fikiran dan kepenatan hidup manusia, manakala memberikannya relaksasi akan membantunya lebih tekun meneruskan ibadah dan ketaatan. Inilah maksud yang ditegaskan dalam kata-katanya: Hiburan adalah penenang hati, meringankan beban fikiran insan, dan hati apabila tertekan akan mati, menenangkan hati insan jadi tekun.

     Pandangan ulama kontemporer menurut Syekh Mahmud Saltut, mendengar suara yang indah baik suara manusia maupun binatang ataupun alat, selama tidak melalaikan dari kewajiban agama dan tidak menurunkan akhlak mulia adalah tidak dilarang. Dia juga mengutip pendapat Nablisi yang mengatakan mendengar suara dan alat hiburan jika tidak disertai dengan hal-hal yang haram atau dijadikan wasilah kepada hal-hal yang haram adalah dibolehkan. Menurut al-Sharbasi: nyanyian yang baik senikatanya, mulia tujuannya seperti menyuruh berpegang dengan agama dan menyuruh berakhlak mulia tidaklah dilarang oleh Islam untuk mendengarnya. Oleh itu menyanyi tidak apa-apa jika nyanyian itu tidak memberi perangsang kepada melakukan dosa-dosa, menimbulkan keinginan syahwat dan tidak disertai pula dengan hal-hal yang haram seperti arak, perempuan atau semisalya. Menurut Abu bakar al-Syibli, ketika ditanya tentang mendengarkan nyanyian, dia berkata: "Nyanyian itu lahirnya fitnah dan batinnya adalah I'tibar. Justru siapa saja yang memahami maksud ini bolehlah mendengar nyanyian, jika tidak, akan mengundang fitnah dan berakibat kepada bala bencana. 
 
     Terdapat beberapa pendapat tentang kebolehan nyanyian (musik). Diantaranya ada yang mengharamkannya, ada pula yang membolehkannya, tanpa larangan sedikitpun. Oleh karena itu, harus dilihat terlebih dahulu substansi nyanyian tersebut, baru dikenakan hukum sebagai haram, makruh atau yang lainnya. Perbincangan tentang kesenian ini dari waktu ke waktu berputar dalam kerangka dasar dari al-Qur'an dan al Sunah di atas yang kesimpulan umumnya ialah seni yang murni dibolehkan manakala seni yang dianggap merusakkan individu dan masyarakat Islam diharamkan. Yang mana jika penghayatan Islam sebuah masyarakat itu teguh, kesenian yang merusak akan terpinggirkan dengan sendirinya, Begitulah sebaliknya, jika penghayatan Islam tidak kuat, seni yang menyeleweng dan merusak akan meraja lela.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjaga Lisan dengan Berkata Kata Yang Baik

Motivasi dan pilihan serta kesan awal pada kampus Institut Agama Islam Tafaqquh Fiddin Dumai